Senin, 29 Juni 2009

Matilah Sebagai Orang yang Berpuas

[Pada suatu masa kanak-kanak.]
Sore yang sejuk. Ada 4 anak bermain di taman dekat rumah masing-masing. Sebut saja mereka Danis, Niro, Jane, dan Hans. Mereka dari kalangan middle to upper class, yang kalau jalan sore begini ditemani baby-sitter sementara orangtua mereka nggak di rumah. Entah mencari uang, mencari hiburan, atau mencari sosok-sosok tertentu.
Niro bilang, " Kalau udah gede, papaku bilang aku harus jadi pengusaha. Padahal aku kepingin jadi polisi!"
Jane membalas, " Aku kepingin jadi guru kayak Bu Santi!"
Danis pun nyeletuk, "Jane, kamu jadi artis aja! Kamu kan cantik."
Hans menatap teman-temannya lalu berkata, "Kata mamaku, aku harus jadi orang baik."


[10 tahun setelah suatu masa kanak-kanak itu.]
Malam yang tak berangin. Ada 4 remaja sedang duduk di atap salah satu rumah. Mereka tetap Danis, Niro, Jane, dan Hans. Mereka masih di kalangan middle to upper class dan orangtua mereka masih sering tidak di rumah. Tapi mereka nggak punya baby-sitter lagi. Kadang mereka ditemani beberapa teman atau pacar di waktu senggangnya.
Niro bilang, "Tes urin gue positif, makanya polisi giring gue. Untungnya bokap bisa bawa gue keluar."
Jane membalas, "Gue juga lagi completely screwed up, guys. Gue harus tidur sama produser sinetron bapuk itu sebelum dapet peran utama."
Danis kali ini nggak nyeletuk, tapi bicara dalam hati, "Ah, munafik si Jane. Sok khawatir, emangnya perawan? Gue aja yang lebih alim dan nggak secantik dia, udah 'maen' sama Pak Gian, guru Mat yang ganteng itu...."
Hans menatap teman-temannya lalu berkata, "Sudahlah, yang penting kita lulus ujian dulu. I'll be around if you guys need my help, ya...."


[30 tahun setelah suatu masa kanak-kanak itu.]
Siang yang hujan. Ada 4 orang sedang makan bersama di sebuah kafe ternama. Mereka Danis, Niro, Jane, dan Hans. Mereka masih orang-orang middle to upper class tapi mereka sudah tidak peduli apakah orangtua mereka ada atau tidak. Mereka sudah terlalu lelah mengurus diri sendiri sehingga tak ada lagi ruang benak tersisa untuk memikirkan orang lain. Tapi mereka berusaha nampak bahagia.
Niro bilang, "Berkat kenalan gue di kepolisian, bisnis gue lancar...." Ini tentang bisnis narkoba dan penyalur calon tenaga kerja seks komersialnya.
Jane membalas, "Berkat kerja keras gue, kebeli juga ini Birkin bag!" Ini tentang kerja kerasnya menjadi simpanan pengusaha kelas kakap, yang rapi di-cover dengan profesinya sebagai artis.
Danis pun nyeletuk, "Berkat usaha bokap yang bisa gue terusin, gue mampu menghidupi Lea dengan sangat cukup." Ini tentang anak haramnya dari si guru Matematika yang kabur entah ke mana.
Hans menatap teman-temannya lalu berkata, "Berkat rahmat Tuhan dan support kalian, gue berhasil membuka usaha gue sendiri dan berencana menikah tahun ini, guys...."


[70 tahun setelah suatu masa kanak-kanak itu.]
Pagi yang cerah. Ada 4 batu nisan yang berjajar rapi di sebuah taman makam umum. Mereka dulunya Danis, Niro, Jane, dan Hans. Mereka dulunya orang-orang middle to upper class yang berusaha bertahan dalam kerasnya hidup dengan segenap batasan-batasan yang ditetapkan lingkungan dan diri mereka sendiri. Dan mereka melewatinya, dengan atau tanpa kepuasan. Kini di sanalah terbaring jasad mereka tanpa nyawa, yang telah pergi membawa butir-butir rahasia yang tak pernah diketahui orang.

Niro :
Semasa hidupnya adalah penjahat besar, yang selalu bersujud di depan salib Tuhannya setiap malam. Ia ingin lepas dari belenggu, namun tak cukup kuatlah iman dan prinsipnya. Ia hanya bisa menatap iri pada sahabatnya, Hans yang bisa bertahan hidup di jalan lurus yang aman. Ia mati dalam keadaan tak puaskan diri.
Jane :
Semasa hidupnya adalah aktris yang laris. Laris di layar kaca, laris di ranjang para pejabat dan pengusaha besar. Ia benci akan kecantikannya yang memperuncing keabnormalan jalan hidupnya. Ia hanya bisa menatap iri pada sahabatnya, Danis. Sosok biasa saja yang bisa merasakan menjadi ibu dan menikah dengan seorang pria yang mau menerimanya apa adanya, walau tak bergelimang harta dan popularitas. Ia mati dalam keadaan tak puaskan diri.
Danis :
Semasa hidupnya adalah ibu rumah tangga yang menjalankan sebuah toko elektronik warisan orangtuanya yang makin lama bangkrut terbelit hutang. Ia merasa tidak maksimal sebagai dirinya. Ia memimpikan hidup penuh skandal (seperti yang pernah dilakukannya semasa SMA) dan liku berbahaya. Ia hanya bisa menatap iri pada sahabatnya, Jane yang hidupnya penuh gejolak, kisah tak biasa, dan aksi-aksi terlarang. Ia mati dalam keadaan tak puaskan diri.
Hans :
Semasa hidupnya adalah pengusaha bengkel mobil yang sukses dengan mempunyai 10 cabang di seluruh Jakarta. Keluarganya bahagia, dengan istri keibuan dan anak-anak cerdas yang sehat. Namun bukan itu yang diimpikan Hans. Ia selalu mengagumi tokoh macam Al Capone dan menyukai film-film yang mempunyai karakter pembunuh bayaran berdarah dingin. Diam-diam ia ingin hidup yang penuh sensasi dan menjadi orang jahat yang bebas bertindak seturut kata hati, tanpa mengingat nasihat ibunya untuk menjadi orang baik. ia hanya menatap iri pada sahabatnya, Niro yang keluar-masuk penjara dan bermain belakang dengan petinggi kepolisian. Ia mati dalam keadaan tak puaskan diri.


[Saat ini. Sekarang.]
Suatu saat yang tak teridentifikasi. Ada seorang yang menatap ke layar komputer dan membaca tulisan ini. Ia bisa saja berasal dari berbagai kalangan. Ia bisa saja tumbuh didampingi orangtua atau pun tidak. Tapi tak ada salahnya ia merenungkan, apa yang benar-benar diinginkannya dalam hidup. Tak ada salahnya ia memulai hari esoknya dengan menjadi pribadi yang merdeka karena ia hanya hidup sekali dan semuanya takkan terulang. Inilah kesempatannya. Hanya ini.
Maka ia pun tersenyum dan mengerti. Menjadi merdeka itu susah-susah gampang, tapi bukannya tak bisa diusahakan. Merdeka dalam ikatan cinta, merdeka dalam finansial, merdeka dalam merasakan sesuatu, merdeka dalam memutuskan sesuatu, merdeka dalam mengungkapkan sesuatu, atau merdeka dalam menetapkan dan mengejar cita-citanya, merdeka dari tuntutan keadaan yang kadang menyesatkan.
Biarlah ia menjadi apa yang ia inginkan. Toh semua manusia telah mendapat perannya dalam sandiwara akbar ini, kan?
Biarlah hanya prinsip pribadi dan kebijakan Tuhan yang menilai langkah-langkah hidupnya.
Agar ia tak mati dalam keadaan tak puaskan diri.


XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on April 25, 2009)

Tidak ada komentar: