Cerita dimulai ketika kita sedang melewati sebuah jalan raya yang ramai setiap harinya.
Di beberapa jalan biasanya ada deretan toko yang menjual barang-barang sejenis. Misal, di jalan Hasyim Ashari Jakarta banyak sekali toko meubel. Di jalan Kayun Surabaya dengan mudah kita menemukan toko bunga.
Dan di jalan yang sedang kita lalui ini, bukan main banyaknya kios yang menyediakan maaf. Ingat, mereka MENYEDIAKAN maaf. Bukan menjualnya.
Bapak Maaf, Mr Apology, Signorina Scusi, dan Gomen-San adalah beberapa dari ratusan pemilik kios yang menyediakan maaf itu. Para pemilik kios tersebut tak perlu bersaing. Mereka telah mendapat pelanggan masing-masing yang sama berjubelnya setiap hari. Mereka tak perlu iri hati dan berusaha berkompetisi karena mereka masing-masing sudah terlalu lelah menghadapi pelanggan yang datang maupun menelepon kios mereka.
Mungkin, karena maaf ini barang gratisan, maka orang-orang selalu menyerbunya setiap hari. Memang sama sekali tak perlu mengeluarkan uang atau pengorbanan apa pun untuk mendapatkan selembar izin maaf dari kios-kios itu. Pelanggan hanya perlu menukarnya dengan sebait janji. Janji untuk tidak mengulangi kesalahan. Janji untuk berbuat lebih baik setelah mendapat maaf. Dan lain-lain.
Janji itu mau ditepati atau tidak nantinya, tadinya bukan urusan penyedia maaf. Pokoknya, para penyedia maaf itu hanya menjalankan tugas dari Big Boss di atas sana untuk menukarkan maaf dengan sebuah janji.
Bapak Maaf, misalnya. Dalam sehari ia bisa melayani jutaan bahkan ratusan juta pelanggan. Para pelanggan itu datang dan menatap buas pada maaf-maaf yang ada di etalase kiosnya.
Beberapa dari pelanggan itu mengatakan apa yang mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka memerlukan maaf.
“Pak, saya perlu maaf yang agak kecil saja. Saya baru saja menuduh suami selingkuh tanpa bukti. Saya rasa dia sakit hati,” kata seorang wanita gemuk. “Pak, saya perlu maaf yang agak besar. Saya kemarin meniduri istri teman baik saya,” ujar seorang pria. “Pak Maaf, gue mau maaf yang ukuran gede ya! Kemarin gue masih nyabu, nih!” gumam seorang remaja. “Bapak Maaf, saya perlu maaf yang besar—paling besar! Saya korupsi,” kata seorang pria setengah baya berstelan rapi.
Beberapa dari pelanggan itu enggan mengatakan apa yang mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka memerlukan maaf. Tapi tetap saja, Bapak Maaf bisa mengetahui apa saja yang mereka perbuat sebelumnya.
Seorang ibu muda pasti baru saja memukuli anak-anaknya. Seorang remaja putri baru saja aborsi. Seorang pria berseragam polisi baru menerima suap yang jumlahnya gila-gilaan.
Keseharian Bapak Maaf selalu begitu. Rekan-rekannya juga. Lama-kelamaan mereka bosan. Mereka merasa pelanggannya keenakan. Toh, setelah ditilik, janji-janji pelanggan itu sedikit sekali yang benar-benar ditepati setelah mereka mendapat maaf yang mereka ingini. Mereka semua mengobral janji demi mendapat maaf dan menghindari hukuman berat dari Big Boss. Jadi, maaf-maaf yang disediakan di jalan ini seakan hanya digunakan mereka sebagai basa-basi saja. Supaya kesannya mereka itu tidak bejat-bejat amat karena masih sadar untuk mencari maaf sebelum mereka kembali mengulang kesalahan, melakukan kesalahan lebih berat, dan kembali lagi ‘tuk memohon berlembar-lembar maaf.
Maaf bagi mereka bukan lagi tiket menuju pertobatan. Bukan lagi jimat untuk mengingatkan mereka agar lebih memperhatikan perasaan sesama. Bukan lagi alat untuk mendekatkan mereka pada Big Boss.
Jelas, bukan demikian yang diinginkan Big Boss. Dan para penyedia maaf menyadari hal itu.
Maka hari ini, semua pemilik kios maaf di jalan itu berkumpul dan mengadakan rapat. Mereka ingin melakukan perubahan signifikan yang bisa mempengaruhi pola pikir para pelanggan mereka yang semakin hari semakin memandang remeh eksistensi Big Boss dan lembar-lembar maaf-Nya yang dititipkan pada para penjaga kios itu.
Akhirnya muncul sebuah keputusan besar: Mulai hari ini, maaf mulai diperdagangkan. Maaf sekarang dijual.
Tapi bukanlah dengan uang, karena bagi para penjaga kios dan bagi Big Boss, uang-uang itu tak lebih dari sekadar helai daun tua. Bedanya, daun tua yang rontok itu tidak punya nomor seri dan tidak bergambar wajah orang-orang penting.
Maaf mulai diperdagangkan, tetap dibayar dengan janji. Tapi bila janji itu diabaikan, maka harus dibayar dengan sesuatu yang sangat berharga bagi pelanggan yang bersangkutan. Bisa berupa kasih sayang pasangan, keberhasilan dalam bisnis, kesan di mata masyarakat, keamanan hidup, dan keutuhan keluarga, atau apa pun. Apa pun yang menjadi ketakutan besar bagi si manusia.
Kasarnya, ini bisa disebut ancaman yang halus. Dan meskipun Big Boss belum mengatakan setuju pada peraturan baru itu, para penjaga kios nekat memasangnya besar-besaran di sepanjang jalan dan di dinding toko mereka.
Peraturannya sekarang : Bila Anda meminta sebuah maaf (ukuran apa pun), Anda harus berjanji untuk tak mengulangi dosa Anda itu, demi kemuliaan Big Boss. Apabila Anda mengacuhkannya seperti angin lalu, Big Boss pasti akan beraksi mencabut apa pun dari diri Anda karena Ia berkuasa penuh atas jagad ini. Big Boss bisa menghapus rezeki Anda. Big Boss bisa menumbuhkan cinta di hati pasangan Anda untuk orang lain. Big Boss berkuasa merenggut nyawa siapa pun yang Anda cintai. Big Boss bisa membiarkan Anda jatuh dalam kubangan cobaan apa saja yang pastinya tak ingin Anda pikirkan karena bisa membuat Anda ketakutan setengah mati.
Dan benarlah. Mulai hari itu, para pelanggan mendelik ketakutan ketika membaca peraturan di poster dan spanduk yang dipasang para pemilik kios. Mereka takut. Jantung mereka teremas. Kening mereka berkeringat. Tangan mereka gemetaran. Tidak ada yang berani bergerak. Jumlah para pelanggan dari seluruh belahan Bumi semakin banyak memenuhi jalanan.
Tak lama, sebuah mobil kerajaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, melintas mulus di jalan itu dan berhenti. Big Boss keluar dari sana. Ia menyeringai jenaka melihat miliaran umat-Nya yang memadati jalan. Ia tak habis pikir kenapa umat-Nya perlu diancam dulu untuk menyadari kekuatan-Nya? Tak sadarkah mereka bahwa mereka hanyalah debu? Padahal Big Boss sendiri ingat betul kalau mereka itu cuma debu. Debu yang Ia kasihi.
Lalu dengan kesabaran yang tiada batas, Big Boss pun berkata santai bahwa Ia akan memberi sekali lagi kesempatan pada para manusia itu untuk hanya menukar maaf dengan janji—tanpa ancaman apa pun. Tapi apabila kemurahan hati-Nya kali ini masih juga tak dipandang, bukannya tak mungkin peraturan ala para penjaga kios maaf itu akan mendapat persetujuan-Nya.
Dan para manusia pelanggan kios maaf itu pun bersujud semua. Menyadari betapa Big Boss mencintai mereka. Tak patut kali ini mereka kecewakan Ia lagi. Dan lagi.
XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on May 10,2009)
Di beberapa jalan biasanya ada deretan toko yang menjual barang-barang sejenis. Misal, di jalan Hasyim Ashari Jakarta banyak sekali toko meubel. Di jalan Kayun Surabaya dengan mudah kita menemukan toko bunga.
Dan di jalan yang sedang kita lalui ini, bukan main banyaknya kios yang menyediakan maaf. Ingat, mereka MENYEDIAKAN maaf. Bukan menjualnya.
Bapak Maaf, Mr Apology, Signorina Scusi, dan Gomen-San adalah beberapa dari ratusan pemilik kios yang menyediakan maaf itu. Para pemilik kios tersebut tak perlu bersaing. Mereka telah mendapat pelanggan masing-masing yang sama berjubelnya setiap hari. Mereka tak perlu iri hati dan berusaha berkompetisi karena mereka masing-masing sudah terlalu lelah menghadapi pelanggan yang datang maupun menelepon kios mereka.
Mungkin, karena maaf ini barang gratisan, maka orang-orang selalu menyerbunya setiap hari. Memang sama sekali tak perlu mengeluarkan uang atau pengorbanan apa pun untuk mendapatkan selembar izin maaf dari kios-kios itu. Pelanggan hanya perlu menukarnya dengan sebait janji. Janji untuk tidak mengulangi kesalahan. Janji untuk berbuat lebih baik setelah mendapat maaf. Dan lain-lain.
Janji itu mau ditepati atau tidak nantinya, tadinya bukan urusan penyedia maaf. Pokoknya, para penyedia maaf itu hanya menjalankan tugas dari Big Boss di atas sana untuk menukarkan maaf dengan sebuah janji.
Bapak Maaf, misalnya. Dalam sehari ia bisa melayani jutaan bahkan ratusan juta pelanggan. Para pelanggan itu datang dan menatap buas pada maaf-maaf yang ada di etalase kiosnya.
Beberapa dari pelanggan itu mengatakan apa yang mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka memerlukan maaf.
“Pak, saya perlu maaf yang agak kecil saja. Saya baru saja menuduh suami selingkuh tanpa bukti. Saya rasa dia sakit hati,” kata seorang wanita gemuk. “Pak, saya perlu maaf yang agak besar. Saya kemarin meniduri istri teman baik saya,” ujar seorang pria. “Pak Maaf, gue mau maaf yang ukuran gede ya! Kemarin gue masih nyabu, nih!” gumam seorang remaja. “Bapak Maaf, saya perlu maaf yang besar—paling besar! Saya korupsi,” kata seorang pria setengah baya berstelan rapi.
Beberapa dari pelanggan itu enggan mengatakan apa yang mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka memerlukan maaf. Tapi tetap saja, Bapak Maaf bisa mengetahui apa saja yang mereka perbuat sebelumnya.
Seorang ibu muda pasti baru saja memukuli anak-anaknya. Seorang remaja putri baru saja aborsi. Seorang pria berseragam polisi baru menerima suap yang jumlahnya gila-gilaan.
Keseharian Bapak Maaf selalu begitu. Rekan-rekannya juga. Lama-kelamaan mereka bosan. Mereka merasa pelanggannya keenakan. Toh, setelah ditilik, janji-janji pelanggan itu sedikit sekali yang benar-benar ditepati setelah mereka mendapat maaf yang mereka ingini. Mereka semua mengobral janji demi mendapat maaf dan menghindari hukuman berat dari Big Boss. Jadi, maaf-maaf yang disediakan di jalan ini seakan hanya digunakan mereka sebagai basa-basi saja. Supaya kesannya mereka itu tidak bejat-bejat amat karena masih sadar untuk mencari maaf sebelum mereka kembali mengulang kesalahan, melakukan kesalahan lebih berat, dan kembali lagi ‘tuk memohon berlembar-lembar maaf.
Maaf bagi mereka bukan lagi tiket menuju pertobatan. Bukan lagi jimat untuk mengingatkan mereka agar lebih memperhatikan perasaan sesama. Bukan lagi alat untuk mendekatkan mereka pada Big Boss.
Jelas, bukan demikian yang diinginkan Big Boss. Dan para penyedia maaf menyadari hal itu.
Maka hari ini, semua pemilik kios maaf di jalan itu berkumpul dan mengadakan rapat. Mereka ingin melakukan perubahan signifikan yang bisa mempengaruhi pola pikir para pelanggan mereka yang semakin hari semakin memandang remeh eksistensi Big Boss dan lembar-lembar maaf-Nya yang dititipkan pada para penjaga kios itu.
Akhirnya muncul sebuah keputusan besar: Mulai hari ini, maaf mulai diperdagangkan. Maaf sekarang dijual.
Tapi bukanlah dengan uang, karena bagi para penjaga kios dan bagi Big Boss, uang-uang itu tak lebih dari sekadar helai daun tua. Bedanya, daun tua yang rontok itu tidak punya nomor seri dan tidak bergambar wajah orang-orang penting.
Maaf mulai diperdagangkan, tetap dibayar dengan janji. Tapi bila janji itu diabaikan, maka harus dibayar dengan sesuatu yang sangat berharga bagi pelanggan yang bersangkutan. Bisa berupa kasih sayang pasangan, keberhasilan dalam bisnis, kesan di mata masyarakat, keamanan hidup, dan keutuhan keluarga, atau apa pun. Apa pun yang menjadi ketakutan besar bagi si manusia.
Kasarnya, ini bisa disebut ancaman yang halus. Dan meskipun Big Boss belum mengatakan setuju pada peraturan baru itu, para penjaga kios nekat memasangnya besar-besaran di sepanjang jalan dan di dinding toko mereka.
Peraturannya sekarang : Bila Anda meminta sebuah maaf (ukuran apa pun), Anda harus berjanji untuk tak mengulangi dosa Anda itu, demi kemuliaan Big Boss. Apabila Anda mengacuhkannya seperti angin lalu, Big Boss pasti akan beraksi mencabut apa pun dari diri Anda karena Ia berkuasa penuh atas jagad ini. Big Boss bisa menghapus rezeki Anda. Big Boss bisa menumbuhkan cinta di hati pasangan Anda untuk orang lain. Big Boss berkuasa merenggut nyawa siapa pun yang Anda cintai. Big Boss bisa membiarkan Anda jatuh dalam kubangan cobaan apa saja yang pastinya tak ingin Anda pikirkan karena bisa membuat Anda ketakutan setengah mati.
Dan benarlah. Mulai hari itu, para pelanggan mendelik ketakutan ketika membaca peraturan di poster dan spanduk yang dipasang para pemilik kios. Mereka takut. Jantung mereka teremas. Kening mereka berkeringat. Tangan mereka gemetaran. Tidak ada yang berani bergerak. Jumlah para pelanggan dari seluruh belahan Bumi semakin banyak memenuhi jalanan.
Tak lama, sebuah mobil kerajaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, melintas mulus di jalan itu dan berhenti. Big Boss keluar dari sana. Ia menyeringai jenaka melihat miliaran umat-Nya yang memadati jalan. Ia tak habis pikir kenapa umat-Nya perlu diancam dulu untuk menyadari kekuatan-Nya? Tak sadarkah mereka bahwa mereka hanyalah debu? Padahal Big Boss sendiri ingat betul kalau mereka itu cuma debu. Debu yang Ia kasihi.
Lalu dengan kesabaran yang tiada batas, Big Boss pun berkata santai bahwa Ia akan memberi sekali lagi kesempatan pada para manusia itu untuk hanya menukar maaf dengan janji—tanpa ancaman apa pun. Tapi apabila kemurahan hati-Nya kali ini masih juga tak dipandang, bukannya tak mungkin peraturan ala para penjaga kios maaf itu akan mendapat persetujuan-Nya.
Dan para manusia pelanggan kios maaf itu pun bersujud semua. Menyadari betapa Big Boss mencintai mereka. Tak patut kali ini mereka kecewakan Ia lagi. Dan lagi.
XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on May 10,2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar