Senin, 29 Juni 2009

Topeng-topeng Manusia

Sebuah gedung perkantoran. Jakarta.

Dirapikannya dasinya yang mengilat. Giorgio Armani. Sepintas, pemuda yang duduk di hadapannya melirik kagum. Bila ada satu orang yang bisa menggambarkan sosok macam apa yang ia inginkan dirinya bertransformasi kelak, pemuda itu akan memilih pria setengah baya berdasi Armani ini, tentu saja.

Statusnya sekarang memang hanya bawahan si bos. Tapi pemuda itu yakin, dengan usaha keras dan doa bukan mustahil ia akan meraih posisi puncak—baik dalam karier maupun dalam kehidupan—seperti bosnya ini.

Mata pemuda itu tersedot atensinya pada sebuah bingkai foto di sudut meja besar bosnya. Si bos menyadarinya, lalu dengan gestur santai yang mengagumkan ia mengambil bingkai itu. Kedua matanya yang mulai dihiasi kerut halus di sekitar, menatap bangga.

“Ini keluarga saya,” ujarnya. “Istri saya cantik, kan?” gumamnya sambil menunjukkan pada si pemuda, foto wanita rupawan bertubuh langsing dan berwajah mulus. “Anak-anak perempuan saya semua mewarisi kecantikannya. Mereka juga kompak sekali.”

Si pemuda memandang kagum pada potret keluarga itu. Kesan mendalam mengenai keharmonisan dan keseimbangan dalam sebuah keluarga sarat terlihat. Ia rela mati rasanya, untuk memiliki keluarga seperti itu kelak.

“Anak laki-laki Bapak mirip sekali dengan Bapak,” kata si pemuda kalem.

“Ya.... Tentu,” si bos menyahut santai sambil mengembalikan bingkai foto ke tempat semula. “Bahkan kami punya hobi yang sama; otomotif dan game!”

Binar mata si pemuda terbias cerah. Ia membayangkan indahnya suasana akhir pekan di keluarga si bos ini. Ayah dan anak sibuk mengutak-atik mobil dengan seru. Sementara anak-anak perempuan bersama ibunya menghabiskan waktu dengan akrab.

“Oh ya, ini berkas yang harus Bapak tanda tangani,” si pemuda akhirnya ingat tujuan awalnya memasuki kantor bosnya.

Kepala si bos mengangguk sambil menerima sebuah map besar. “Oke, saya periksa dulu, deh. Setengah jam lagi kamu ambil, bisa?”

“Bisa, Pak,” sahut si pemuda. Setelah itu ia permisi dan meninggalkan ruangan mewah itu dengan sejuta angan. Khayalannya hidup. Ia membayangkan dirinya di posisi si bos beberapa tahun kelak.

KLEK. Pintu tertutup rapat.

Dari bawah meja besar si bos muncullah seorang perempuan muda bertubuh sintal. Wajahnya yang penuh riasan pun tidak asing, karena kerap ia tampil di acara televisi maupun sinetron tidak bermutu yang menjamur itu. Perempuan itu nyaris tak berbusana.

“Ayo, cepat. Waktu kita hanya setengah jam sebelum muncul gangguan lagi,” kata si bos—yang lebih terdengar seperti perintah.

Dan si perempuan pun mulai melaksanakan tugasnya. Mulailah dia membuka lagi ikat pinggang Cartier pria itu, demi kecukupan hidupnya.

-----------------

Sebuah gedung perkantoran yang lain. Jakarta.

Dua orang wanita berusia awal empat puluh duduk berhadapan. Salah satu di antara mereka (yang berbaju putih dan berambut panjang) adalah penasihat perkawinan, sedangkan yang satu lagi (mengenakan gaun hijau muda) adalah si klien alias orang yang perkawinannya memerlukan nasihat agar bisa bertahan.

Mata perempuan bergaun hijau itu berair. “Saya patah arang. Suami saya bahkan nggak berminat ke sini dan berbicara. Dia nggak peduli lagi.”

“Pada awalnya memang harus sabar,” kata wanita berbaju putih menenangkan. “Dalam kasus ini kita nggak bisa hanya menyalahkan suami Anda. Pertama, koreksi diri terlebih dulu. Apakah Anda juga sudah total dalam membina perkawinan?”

“Ya,” sahut si gaun hijau cepat. “Saya sudah melakukan apa pun yang ia mau. Tapi tak sedikit pun ia menghargai saya. Ia lebih memilih sundal itu. Sudah tujuh tahun hal ini berlangsung. Sekarang saya seolah tak berharga di matanya.”

Dengan lembut dan percaya diri, wanita berbaju putih meremas tangan kliennya. “Mungkin masih ada celah dari usaha Anda. Celah yang diisi oleh kehadiran perempuan lain. Tapi kita bisa mengatasinya, kok. Saya di sini untuk membantu Anda. Kita akan mulai dari langkah pertama. Oke?”

“Terima kasih,” kata si gaun hijau. “Bersyukur saya mengetahui tentang Anda. Pamor Anda sebagai penasihat perkawinan tidak diragukan, dan sekarang saya percaya Anda bisa menolong saya. Menyelamatkan perkawinan, menyelamatkan anak-anak saya dari perceraian orangtua, dan menolong saya menyingkirkan kehadiran perempuan sialan itu.”

“Itu tugas saya,” gumam si baju putih, yakin. Kemudian saat selanjutnya ia bicara panjang tentang apa saja yang harus diperhatikan oleh si klien. Ia berbicara dengan sangat lihai, menuntun kliennya untuk memahami seluk-beluk perkawinan yang seakan tak pernah berujung. Setiap kata yang meluncur dari bibirnya membius semua orang untuk percaya, bahwa pasti wanita berbaju putih inilah yang dianugerahi perkawinan paling bahagia sejagat raya.

Setelah cukup, mereka pun mengatur pertemuan selanjutnya. Kemudian si gaun hijau pun melangkah keluar dari ruangan nyaman itu.

KLEK. Pintu tertutup rapat.

Ponsel wanita berbaju putih pun berbunyi. Ia menerima telepon dengan gaya diplomatis yang mengagumkan. “Halo?”

“Pagi Bu, saya Desti...” suara di seberang berkata.

“Ya, Desti?” sahut si baju putih. Desti adalah sekretaris suaminya di kantor. Sekaligus mata-matanya. “Ada apa?”

“Memberi laporan, Bu. Pagi ini ‘dia’ menemui Bapak lagi, Bu.”

“Dia?” wanita berbaju putih itu menggeram kesal. “Si artis nggak laku itu?”

“I-iya, Bu.” Desti menyahut pelan. “Sudah lebih dari setengah jam dia di dalam ruangan kantor Bapak.”

“Oke, trims atas laporannya.”

KLIK. Telepon ditutup.

Wanita berbaju putih itu menggertakkan rahang dan memejamkan mata. Diam-diam, sudah sembilan tahun perkawinannya dirundung permasalahan macam ini. Ingin sekali ia membelit leher suaminya dengan dasi Armani-nya. Hingga mampus.

-----------------

Sebuah kafe. Jakarta.

Segerombol anak muda sedang nongkrong. Gelas-gelas daur ulang berisi kopi yang harganya lumayan mahal, menemani mereka. Ada beberapa kotak rokok rendah tar juga untuk melengkapi acara rame-rame itu. Mereka semua ada enam orang jumlahnya, dan tengah menunggu tiga orang lagi teman dekat mereka yang masih dalam perjalanan.

Yang namanya acara kumpul-kumpul, tidak seru tanpa gosip. Dan kali ini, topik yang seru mereka bincangkan adalah orang-orang di kampus mereka yang bernama Ruben, Aliya, dan Hanis.

"Lu semua merasa, nggak? Si Aliya itu lama-lama nyebelin banget. Dikit-dikit pamer!"

"Ya, namanya juga OKB. Maklum aja!"

"Eh, tapi gue curiga barang dia banyak yang aspal. Mana mungkin tampang dia beli Hermes asli, sih? Bokapnya kan cuman dosen biasa?!"

"Bener juga, ya.... Atau jangan-jangan dia jadi simpenan om-om?"

"Hiiii.... Disimpen om-om, lama-lama kebobolan dan hamil. Ujung-ujungnya aborsi kayak si Hanis."

"Psst! Itu rahasia besarnya si Hanis, lho. Kata dia jangan sampai ada yang tahu!"

"Halah, semua juga udah tahu. Dia aja yang munafik, sok-sok aktif pelayanan gereja segala."

"Hahahaha! Iya, tuh! Sok suci dia. Sayang banget ya orang-orang di gereja dia nggak ada yang tahu masa lalu Hanis! Coba kalau ada yang tahu, seru tuh!"

"Nggak ada yang seseru si Ruben. Gosipnya kan dia anak haram. Tapi lu semua jangan tanya-tanya ke dia, ya!"

"Oh ya? Kok lu tahu?"

"Temen nyokap gue ada yang kenal ama nyokapnya Ruben. Bekas pelacur tuh nyokapnya. Waktu hamil ditinggal deh ama tuh laki hidung belang."

"Oh ya?"

"Iya, tapi dia malu. Jadi dia bilang bokapnya udah meninggal waktu dia masih kecil. Hihi, kasian yah! Mereka-reka cerita masa kecil sampai segitunya."

"Kasian deh Ruben! Hahahaha! Untung kita nggak ada yang kayak dia!"

"Eh eh eh! Psst! Mereka udah dateng tuh!"

Semua kepala menoleh ke arah tiga teman dekat mereka yang dari tadi dinantikan. Semua memasang senyum ceria dan heboh.

"Hei, lama banget sih nyampenya! Jamuran nih, nungguin kalian!"

Dan bergabunglah sembilan orang yang 'katanya' sahabat itu. Enam orang penggosip itu, ditambah Ruben, Aliya, dan Hanis.

-----------------

Sangat dirindukan suatu masa, di mana manusia tak lagi bertopeng.
Sangat didambakan suatu masa, di mana untaian gumam dari mulut manusia akan sama dengan apa yang ada di hatinya dan dengan apa yang ia lakukan.
Tapi mungkin semua hanya sepercik pikiran abstrak yang takkan terwujud.
Karena bagaimana pun, manusia sepertinya akan selalu bertopeng.
Kecuali, yang bersangkutan memang bertekad melucuti topengnya, atau ada yang berkekuatan mencabut topeng-topeng itu.

Bagaimana dengan Anda? Adakah topeng yang melapisi nurani Anda? Tidak ada?
Hanya dua yang tahu jawabannya.
Anda. Dan Tuhan.


XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on June 17, 2009)

Surat-surat untuk Tuhan

1.
Di sebuah rumah berukuran sedang di pinggiran kota, seorang pria sedang membungkuk di atas meja kayu kecil. Nampaknya ia sedang menulis surat. Surat itu nantinya akan ia kirim kepada Tuhan. Jangan tanyakan darimana ia tahu alamat kediaman Tuhan, karena ia memang tahu. Semua orang tahu.

Tulisnya:
Tuhan, jangan pernah mengklaim bahwa Kau adalah Mahaadil atau maha-maha yang lain. Aku bukannya kurang ajar atau membenci-Mu, tapi apa yang terjadi padaku sama sekali tidak menunjukkan keadilan-Mu apalagi kasih sayang-Mu yang notabene tak berbatas.
Kau tahu sendiri, kan? Setiap malam aku berdoa jungkir balik menyebut nama-Mu untuk memohon rahmat sehingga aku bisa keluar dari permasalahan hidupku. Kau tahu sendiri jumlah utangku pada Pak Hanur, dan Kau tahu apa yang bisa ia lakukan kalau aku tidak membayar utang sialan itu. Ia bisa membunuhku, Tuhan! Dan Aku pun sudah merubah jalur hidupku, sebulan terakhir aku tekun bekerja dan mengumpulkan sedikit uang untuk menyicil utang itu. Tapi apa yang Kau biarkan terjadi padaku?
Sore tadi ketika turun dari angkutan umum, kuraba bagian belakang tasku yang ternyata sudah robek. Seamplop gaji yang bisa menolongku dari guratan pisau anak buah Pak Hanur telah lenyap diambil orang! Lihatlah! Kau membiarkan seorang pencopet tak bermoral merampas hasil keringatku! Itukah yang Kau sebut dengan Allah menyayangi semua umat-Nya?!
Ingin sekali kusebut itu hanya omong kosong.


2.
Di atas sebuah tempat tidur di sebuah klinik kesehatan, terbaringlah seorang pemuda tampan dengan tangan dan kaki terluka. Tadinya ia dirawat oleh seorang suster, dan ketika suster itu keluar dari biliknya, si pemuda menarik keluar selembar kertas dari tasnya di atas meja. Dengan tangan yang terluka itu, ia mencoba keras untuk menulis. Sepertinya ia serius menulis sepucuk surat. Surat untuk Tuhan.

Tulisnya:
Gila! Ini sungguh gila!
Coba, Tuhan... Kau ingat-ingat lagi apa yang kulakukan tadi siang sebelum berangkat ke rumah Om Don, manajerku itu. Aku berdoa pada-Mu, bukan? Aku berdoa memohon perlindungan-Mu sepanjang hari ini. Aku memohon penjagaan-Mu selama aku berkendara di jalan. Dan sebagai Tuhan yang Mahabaik, bukankah tidak sulit sama sekali bagi-Mu untuk mengabulkannya? Kau tinggal menunjuk salah satu malaikat-Mu untuk mengawasi langkahku dan voila! Aku pasti selamat sampai tujuan.
Tapi apa yang Kau biarkan terjadi padaku? Mobilku selip di jalan tol dan menghantam pembatas jalan, bergerak tak terkendali dan sebuah mobil lain pun menabrakku cukup keras. Memang, aku tidak patah tulang atau pun gegar otak, tapi coba Kau perhatikan aku lebih lagi....
Besok seharusnya shooting untuk film FTV pertamaku akan dimulai. Awal dari karierku akan dimulai, dan kondisiku sekarang seperti ini! Tergeletak dengan luka-luka di sekujur tubuh. Sudah pasti shooting itu tidak bisa ditunda. Sudah pasti mereka akan membatalkan kontrakku.
Aku tak percaya, Tuhan. Selama ini aku mengandalkan-Mu. Kau membuatku gembira setengah mati pada hari di mana Pak Beno dari PH itu memberitahu Om Don bahwa aku mendapat peran utama. Tapi apalah artinya itu, bila pada akhirnya seperti inilah skenario yang Kau tulis?
Mungkin Kau tidak semulia seperti yang diyakini umat-Mu.

-------

1.
Sementara itu, di sebuah rumah reyot bedinding triplek lapuk, seorang pria kurus berusia setengah baya sedang duduk sejajar dengan anaknya yang berusia sepuluh tahun. Mereka memandang ke arah selembar kertas kosong sambil tersenyum tipis setelah bertukar pandang. Sang ayah meraih pulpen dan mulai menulis. Sedangkan anaknya memperhatikan seksama ketika ayahnya mulai menulis surat. Surat untuk Tuhan.

Tulisnya:
Tuhan, selamanya aku akan memuji-Mu. Kau mengabulkan doaku selama ini, Tuhan....
Akhirnya, anakku, Bambang, bisa meneruskan sekolah. Hilang sudah semua beban yang memberati kepalaku setengah tahun belakangan ini, sejak pihak sekolah mengancam akan mengeluarkan Bambang apabila SPP-nya tidak juga dibayar. Aku sempat pesimis, karena pekerjaanku yang pemulung tidak akan bisa melunasi tunggakan SPP Bambang. Apalagi aku masih harus menghidupi adik-adik Bambang yang masih kecil.
Tapi malam ini, Rudi anak Pak Asep, seorang tetangga dekat yang sudah saya anggap seperti anak sendiri, datang membantu. Memang Rudi selalu tahu penderitaan saya. Dan puncaknya, tadi ia memberikan pada saya seamplop uang yang cukup untuk melunasi SPP Bambang. Bahkan masih ada sisa untuk membeli susu dan beberapa obat untuk si Upik yang sakitnya tidak sembuh-sembuh.
Aku tidak tahu darimana Rudi mendapatkan uang itu, karena pekerjaannya hanyalah pembantu di sebuah depot masakan Jawa. Tapi Rudi bilang aku tak perlu khawatir, bahkan aku tak perlu mengembalikan uang itu. Jadi kuanggap semua ini adalah berkat dan jawaban dari-Mu, Tuhan.


2.
Di ruang tamu sebuah rumah mungil, seorang pemuda sedang duduk bersujud. Di hadapannya terbentang selembar kertas yang akan ia tulisi. Ia meremas pen di tangannya lantaran antusiasme yang ia rasakan. Dengan sukacita dan rasa syukur ia mulai menulis suratnya yang ia alamatkan pada Tuhan.

Tulisnya:
Tuhan, Kau dengarkan doaku!
Barusan Mas Karel menelepon dan mengatakan bahwa pihak PH yang memproduksi FTV itu menghendaki aku untuk mengisi peran utama! Katanya sih, aktor yang lebih dulu mereka pilih baru saja mengalami kecelakaan sementara jadwal kejar tayang mereka tak memungkinkan adanya pengunduran shooting.
Terima kasih, Tuhan!
Aku tidak bermaksud untuk berbahagia di atas penderitaan aktor itu. Tapi aku senang sekali mendapatkan pekerjaan ini. Dengan honornya, aku bisa membantu meminimalkan pengeluaran Mama. Kasihan Mama, ya Tuhan... Sudah dua tahun sejak Papa meninggalkan kami, Mama selalu bekerja keras untuk kami. Apalagi belakangan kesehatan Mama menurun... maka aku sangat bersyukur Kau beri aku kesempatan untuk menggantikannya menjadi tonggak keluarga ini.
Semoga Kau bimbing aku agar dapat bekerja dan berakting dengan maksimal. Jangan lupa Kau curahkan berkat untuk si aktor itu agar luka dan cederanya tidak parah sehingga ia segera sembuh. Obatilah kekecewaannya juga, ya Tuhan....
-------


Pernahkah Anda menulis surat untuk Tuhan?
Surat untuk Tuhan, isinya memang bisa berupa apa saja; pujian, ucapan syukur, permohonan, bahkan protes keras. Tuhan akan membaca semuanya, sebagaimana Ia mendengarkan doa semua umat-Nya.
Di layar ini, bolehlah kita menilik beberapa surat untuk Tuhan yang mungkin mewakili apa yang pernah kita rasakan, kita pertanyakan, dan kita syukurkan kepada-Nya.

Apa pun yang kita sampaikan melalui surat-surat kita untuk Tuhan, kita tetap hanya manusia yang akan sulit memahami alur pekerjaan-Nya. Kerap kita bertanya mengapa ada penderitaan. Kerap kita bersyukur dan merasa bahwa Ia benar-benar baik hati.
Tapi yang hampir selalu lupa kita sadari adalah, bahwa di balik penderitaan kita mungkin terselip bahagia orang lain. Begitu pula sebaliknya.
Mengapa pula kita harus memprotes dan berteriak bahwa Ia tidak adil hanya karena Ia menggilir roda kehidupan? Mengertilah, Tuhan sangatlah sibuk sehingga bukan skenario sederhana yang Ia tulis untuk setiap manusia.

Hanya dengan menerima keagungan misteri-Nya, kita akan hidup tenang dan takkan terpikir untuk menulis sehelai pun surat protes untuk-Nya. Karena sesungguhnya Ia tak layak menerimanya.


XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on June 5, 2009)

Maaf, Sekarang Sudah Mulai Dijual!

Cerita dimulai ketika kita sedang melewati sebuah jalan raya yang ramai setiap harinya.

Di beberapa jalan biasanya ada deretan toko yang menjual barang-barang sejenis. Misal, di jalan Hasyim Ashari Jakarta banyak sekali toko meubel. Di jalan Kayun Surabaya dengan mudah kita menemukan toko bunga.

Dan di jalan yang sedang kita lalui ini, bukan main banyaknya kios yang menyediakan maaf. Ingat, mereka MENYEDIAKAN maaf. Bukan menjualnya.

Bapak Maaf, Mr Apology, Signorina Scusi, dan Gomen-San adalah beberapa dari ratusan pemilik kios yang menyediakan maaf itu. Para pemilik kios tersebut tak perlu bersaing. Mereka telah mendapat pelanggan masing-masing yang sama berjubelnya setiap hari. Mereka tak perlu iri hati dan berusaha berkompetisi karena mereka masing-masing sudah terlalu lelah menghadapi pelanggan yang datang maupun menelepon kios mereka.

Mungkin, karena maaf ini barang gratisan, maka orang-orang selalu menyerbunya setiap hari. Memang sama sekali tak perlu mengeluarkan uang atau pengorbanan apa pun untuk mendapatkan selembar izin maaf dari kios-kios itu. Pelanggan hanya perlu menukarnya dengan sebait janji. Janji untuk tidak mengulangi kesalahan. Janji untuk berbuat lebih baik setelah mendapat maaf. Dan lain-lain.

Janji itu mau ditepati atau tidak nantinya, tadinya bukan urusan penyedia maaf. Pokoknya, para penyedia maaf itu hanya menjalankan tugas dari Big Boss di atas sana untuk menukarkan maaf dengan sebuah janji.

Bapak Maaf, misalnya. Dalam sehari ia bisa melayani jutaan bahkan ratusan juta pelanggan. Para pelanggan itu datang dan menatap buas pada maaf-maaf yang ada di etalase kiosnya.
Beberapa dari pelanggan itu mengatakan apa yang mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka memerlukan maaf.

“Pak, saya perlu maaf yang agak kecil saja. Saya baru saja menuduh suami selingkuh tanpa bukti. Saya rasa dia sakit hati,” kata seorang wanita gemuk. “Pak, saya perlu maaf yang agak besar. Saya kemarin meniduri istri teman baik saya,” ujar seorang pria. “Pak Maaf, gue mau maaf yang ukuran gede ya! Kemarin gue masih nyabu, nih!” gumam seorang remaja. “Bapak Maaf, saya perlu maaf yang besar—paling besar! Saya korupsi,” kata seorang pria setengah baya berstelan rapi.

Beberapa dari pelanggan itu enggan mengatakan apa yang mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka memerlukan maaf. Tapi tetap saja, Bapak Maaf bisa mengetahui apa saja yang mereka perbuat sebelumnya.

Seorang ibu muda pasti baru saja memukuli anak-anaknya. Seorang remaja putri baru saja aborsi. Seorang pria berseragam polisi baru menerima suap yang jumlahnya gila-gilaan.

Keseharian Bapak Maaf selalu begitu. Rekan-rekannya juga. Lama-kelamaan mereka bosan. Mereka merasa pelanggannya keenakan. Toh, setelah ditilik, janji-janji pelanggan itu sedikit sekali yang benar-benar ditepati setelah mereka mendapat maaf yang mereka ingini. Mereka semua mengobral janji demi mendapat maaf dan menghindari hukuman berat dari Big Boss. Jadi, maaf-maaf yang disediakan di jalan ini seakan hanya digunakan mereka sebagai basa-basi saja. Supaya kesannya mereka itu tidak bejat-bejat amat karena masih sadar untuk mencari maaf sebelum mereka kembali mengulang kesalahan, melakukan kesalahan lebih berat, dan kembali lagi ‘tuk memohon berlembar-lembar maaf.

Maaf bagi mereka bukan lagi tiket menuju pertobatan. Bukan lagi jimat untuk mengingatkan mereka agar lebih memperhatikan perasaan sesama. Bukan lagi alat untuk mendekatkan mereka pada Big Boss.
Jelas, bukan demikian yang diinginkan Big Boss. Dan para penyedia maaf menyadari hal itu.

Maka hari ini, semua pemilik kios maaf di jalan itu berkumpul dan mengadakan rapat. Mereka ingin melakukan perubahan signifikan yang bisa mempengaruhi pola pikir para pelanggan mereka yang semakin hari semakin memandang remeh eksistensi Big Boss dan lembar-lembar maaf-Nya yang dititipkan pada para penjaga kios itu.

Akhirnya muncul sebuah keputusan besar: Mulai hari ini, maaf mulai diperdagangkan. Maaf sekarang dijual.

Tapi bukanlah dengan uang, karena bagi para penjaga kios dan bagi Big Boss, uang-uang itu tak lebih dari sekadar helai daun tua. Bedanya, daun tua yang rontok itu tidak punya nomor seri dan tidak bergambar wajah orang-orang penting.

Maaf mulai diperdagangkan, tetap dibayar dengan janji. Tapi bila janji itu diabaikan, maka harus dibayar dengan sesuatu yang sangat berharga bagi pelanggan yang bersangkutan. Bisa berupa kasih sayang pasangan, keberhasilan dalam bisnis, kesan di mata masyarakat, keamanan hidup, dan keutuhan keluarga, atau apa pun. Apa pun yang menjadi ketakutan besar bagi si manusia.

Kasarnya, ini bisa disebut ancaman yang halus. Dan meskipun Big Boss belum mengatakan setuju pada peraturan baru itu, para penjaga kios nekat memasangnya besar-besaran di sepanjang jalan dan di dinding toko mereka.

Peraturannya sekarang : Bila Anda meminta sebuah maaf (ukuran apa pun), Anda harus berjanji untuk tak mengulangi dosa Anda itu, demi kemuliaan Big Boss. Apabila Anda mengacuhkannya seperti angin lalu, Big Boss pasti akan beraksi mencabut apa pun dari diri Anda karena Ia berkuasa penuh atas jagad ini. Big Boss bisa menghapus rezeki Anda. Big Boss bisa menumbuhkan cinta di hati pasangan Anda untuk orang lain. Big Boss berkuasa merenggut nyawa siapa pun yang Anda cintai. Big Boss bisa membiarkan Anda jatuh dalam kubangan cobaan apa saja yang pastinya tak ingin Anda pikirkan karena bisa membuat Anda ketakutan setengah mati.

Dan benarlah. Mulai hari itu, para pelanggan mendelik ketakutan ketika membaca peraturan di poster dan spanduk yang dipasang para pemilik kios. Mereka takut. Jantung mereka teremas. Kening mereka berkeringat. Tangan mereka gemetaran. Tidak ada yang berani bergerak. Jumlah para pelanggan dari seluruh belahan Bumi semakin banyak memenuhi jalanan.

Tak lama, sebuah mobil kerajaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, melintas mulus di jalan itu dan berhenti. Big Boss keluar dari sana. Ia menyeringai jenaka melihat miliaran umat-Nya yang memadati jalan. Ia tak habis pikir kenapa umat-Nya perlu diancam dulu untuk menyadari kekuatan-Nya? Tak sadarkah mereka bahwa mereka hanyalah debu? Padahal Big Boss sendiri ingat betul kalau mereka itu cuma debu. Debu yang Ia kasihi.

Lalu dengan kesabaran yang tiada batas, Big Boss pun berkata santai bahwa Ia akan memberi sekali lagi kesempatan pada para manusia itu untuk hanya menukar maaf dengan janji—tanpa ancaman apa pun. Tapi apabila kemurahan hati-Nya kali ini masih juga tak dipandang, bukannya tak mungkin peraturan ala para penjaga kios maaf itu akan mendapat persetujuan-Nya.

Dan para manusia pelanggan kios maaf itu pun bersujud semua. Menyadari betapa Big Boss mencintai mereka. Tak patut kali ini mereka kecewakan Ia lagi. Dan lagi.


XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on May 10,2009)

Siapa yang Pelacur?

Tidak akan ada orang yang mau mengaku sebagai pelacur. Kalaupun mengaku, pasti ada alasan kuat berbelit-belit di balik itu, seolah jalan hidup mereka ditakdirkan memang hanya satu itu saja. Seperti halnya beberapa orang tak ingin mengungkap status keperawanannya secara teknis.

Pendapat orang zaman dulu mengatakan bahwa keperawanan seorang gadis akan menentukan masa depannya. Dan keperjakaan seorang pemuda tidaklah terlalu mempengaruhi masa depan karena katanya tidak ada bekasnya.

Orang zaman sekarang dengan paradigma yang sok termodernisasi mengatakan bahwa pada masa kini, keperawanan si gadis dan keperjakaan si pemuda sama-sama tidak berpengaruh pada masa depan masing-masing. Karena pola hidup sudah di-westernisasi, sehingga takkan jadi soal apakah orang itu perawan atau tidak, apakah orang itu perjaka atau tidak. Selama kelaminnya tidak berpenyakit dan ia bukan nyata-nyata pelacur.

Siapa bilang?


.Tahun XXXX.

Siang itu, di halaman sekolah sebuah SMA swasta ternama, ada 6 siswa kelas dua sedang berjalan pulang meninggalkan gedung. Mereka adalah Anya, Vera, Donna, Phillip, Karl, dan ... maaf, nama personil terakhir dirahasiakan. Kita bahkan tidak boleh tahu apakah ia seorang gadis atau pemuda.
Mereka berenam seperti manusia pada umumnya, mempunyai kisah tersendiri mengenai keperawanan dan keperjakaan mereka. Bahkan tentang 'kepelacuran' manusia.


.Tahun XXXX + 1.

Anya kehilangan keperawanannya dengan Donny, pacarnya yang anak kuliahan. Pikir Anya, itu tidak akan jadi masalah. Ia bisa saja nantinya menikah dengan Donny atau bukan dengan Donny, tidak jadi soal. Toh ia anak ibu kota dan zaman sudah modern, sehingga hanya orang-orang kolot nggak bisa maju yang masih memusingkan masalah virginity.

Saat ini, Vera, Donna, Phillip, dan Karl masih aman.
Personil keenam masih saja bungkam tak mau berbagi identitas maupun sepercik kisah.


.Tahun XXXX + 6.

Vera menikah dengan Yudi, seorang rekan kerjanya di kantor swasta. Vera menikah dalam keadaan perawan, dan ia memang sudah pernah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia hanya akan mempersembahkan keperawanannya yang satu-satunya untuk suami tercinta. Untuk pria yang memang atas dasar cinta memilihnya sebagai pendamping seumur hidup. Untuk pria yang memang ia cintai sepenuh hati.

Saat ini, Donna, Phillip, dan Karl masih aman.
Personil keenam masih saja bungkam tak mau berbagi identitas maupun sepercik kisah.


.Tahun XXXX + 7.

Phillip kehilangan keperjakaan sekaligus merenggut keperawanan Siska, kekasihnya. Selang beberapa bulan, Siska ternyata hamil dan menuntut dinikahi. Phillip pun menikahi Siska dalam keadaan mental tak siap dan finansial pas-pasan.

Sementara itu, Anya sudah sering berganti pasangan dan petualangan seksualnya seakan tak pernah berakhir. Ia pun tak ingat lagi apa yang ia cari dalam waktunya yang sejenak ini.

Saat ini, Donna dan Karl masih aman.
Personil keenam masih saja bungkam tak mau berbagi identitas maupun sepercik kisah.


.Tahun XXXX + 8.

Donna melelang keperawanannya melalui seorang kenalan yang bisa menghubungkannya dengan kalangan upper class yang identitasnya dijaga baik. Dengan kecantikan dan kemulusannya, Donna dihargai sangat tinggi untuk malam pertamanya. Ia pun merelakan keperawanannya ditukar sejumlah uang yang takkan bisa ia dapat dengan cara lain dalam sekejap mata.

Pada saat yang hampir bersamaan, Karl direnggut keperjakaannya oleh salah seorang atasannya yang penyuka sesama jenis. Karl tak dapat melawan, karena ia butuh pekerjaan. Batinnya bergejolak, namun tubuhnya kelamaan akan terbiasa.

Saat ini, tak ada lagi yang masih aman.
Personil keenam masih saja bungkam tak mau berbagi identitas maupun sepercik kisah.


.Tahun XXXX + 11.

Anya masih saja berkelana mencari pengalaman baru. Dengan orang Jawa, Sunda, Papua, bahkan Italia, Amerika, China, Afrika Selatan, dan Argentina. Ia ketagihan. Tak masalah ia diberi imbalan atau tidak. Imbalan terbaik buatnya adalah kepuasan.

Vera kini merasakan bahwa sia-sia belaka ia menjaga keperawanannya hanya untuk Yudi seorang. Pria itu tak lagi menghargainya sebagai istri, apalagi menyentuhnya. Yudi kerap bermain dengan perempuan-perempuan tak jelas asal-usulnya. Dan batin Vera terbunuh dengan semua itu. Ia heran kenapa para wanita sibuk mempersembahkan keperawanan untuk suami sementara suami tak akan mengingat 'jasa' itu? Ia hanya berusaha bertahan agar perkawinannya tampak baik di masyarakat.

Donna yang tiga tahun lalu menggunakan upah keperawanannya untuk memulai sebuah usaha, kini mulai memetik hasilnya. Bisnis home industry aksesoris rambut yang ia buat melalui keahlian tangannya, kini mulai merambah seluruh Indonesia. Ia menghabiskan waktu untuk bekerja, tak pernah ingat bahwa ia perlu partner sejati dalam hidup. Ia merasa ia harus cepat kaya dan jaya, untuk membayar pengorbanan besarnya dulu.

Phillip terpenjara di rumah di bawah kekuasaan Siska istrinya. Meski mencoba bersabar, namun Phillip sudah hampir sinting karena keegoan Siska yang tak pernah menghargainya sebagai lelaki dan suami. Phillip adalah budak Siska, hanya karena wanita itu lebih pintar mencari rezeki. Phillip budak di rumah, dan budak di ranjang.

Karl terjebak selamanya dalam lingkaran yang tak akan membiarkannya lepas. Ia tahu, banyak lelaki memilih menjadi gay akhir-akhir ini seakan itu tren. Bagi Karl dulu, itu menjijikkan. Tapi sekarang? Ia bahkan merasa tak berdaya bila melepas predikat itu. Ia melayani om-om abnormal yang haus akan sentuhan pria muda tampan seperti Karl.

Saat ini, tak ada lagi yang aman.
Personil keenam masih saja bungkam tak mau berbagi identitas maupun sepercik kisah.


.Tahun ini.

Kini saatnya mereka semua berhadapan dengan pertanyaan: siapakah yang pelacur?
Tak ada yang berani menjawab. Vera ingin menuding Anya, Anya ingin menuding Donna, Donna ingin menuding Karl, dan Karl ingin menuding Phillip.

Karena pada dasarnya mereka semua mirip pelacur, yang menggadaikan sesuatu yang berharga dalam diri mereka untuk suatu hal.
Karena pada dasarnya manusia punya kecenderungan untuk bersikap seperti pelacur, yang berbeda hanyalah: siapa tuan yang menjadi tempatnya melacurkan diri.

Dan pada hal ini pelacur serta melacur bukan melulu soal seks.
Manusia menggadaikan keperawanan, harga diri, kebebasan, akal sehat, dan apa pun karena uang, ketenaran, pekerjaan, image, cinta atau karena ketidakberdayaan yang memang tidak dicoba untuk diberdayakan.

Dan pada akhirnya sifat kepelacuran manusia itu yang menghalangi mereka untuk menjadi diri sendiri dan hidup sesuai hakikatnya.
Berbahagialah manusia-manusia yang masih bisa sadar akan apa yang ia cari dan masih bisa mencarinya dengan cara yang tidak akrab dengan kesan melacur. Lebih bagus lagi kalau manusia itu masih ingat pada Sang Pemberi Hidup.


Nah... bagaimana dengan Anda, si personil keenam?

Kini saatnya buat Anda untuk merunut cerita Anda sendiri. Tak perlu di sini. Cukup dalam hati nurani Anda saja.


XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on May 6, 2009)

Matilah Sebagai Orang yang Berpuas

[Pada suatu masa kanak-kanak.]
Sore yang sejuk. Ada 4 anak bermain di taman dekat rumah masing-masing. Sebut saja mereka Danis, Niro, Jane, dan Hans. Mereka dari kalangan middle to upper class, yang kalau jalan sore begini ditemani baby-sitter sementara orangtua mereka nggak di rumah. Entah mencari uang, mencari hiburan, atau mencari sosok-sosok tertentu.
Niro bilang, " Kalau udah gede, papaku bilang aku harus jadi pengusaha. Padahal aku kepingin jadi polisi!"
Jane membalas, " Aku kepingin jadi guru kayak Bu Santi!"
Danis pun nyeletuk, "Jane, kamu jadi artis aja! Kamu kan cantik."
Hans menatap teman-temannya lalu berkata, "Kata mamaku, aku harus jadi orang baik."


[10 tahun setelah suatu masa kanak-kanak itu.]
Malam yang tak berangin. Ada 4 remaja sedang duduk di atap salah satu rumah. Mereka tetap Danis, Niro, Jane, dan Hans. Mereka masih di kalangan middle to upper class dan orangtua mereka masih sering tidak di rumah. Tapi mereka nggak punya baby-sitter lagi. Kadang mereka ditemani beberapa teman atau pacar di waktu senggangnya.
Niro bilang, "Tes urin gue positif, makanya polisi giring gue. Untungnya bokap bisa bawa gue keluar."
Jane membalas, "Gue juga lagi completely screwed up, guys. Gue harus tidur sama produser sinetron bapuk itu sebelum dapet peran utama."
Danis kali ini nggak nyeletuk, tapi bicara dalam hati, "Ah, munafik si Jane. Sok khawatir, emangnya perawan? Gue aja yang lebih alim dan nggak secantik dia, udah 'maen' sama Pak Gian, guru Mat yang ganteng itu...."
Hans menatap teman-temannya lalu berkata, "Sudahlah, yang penting kita lulus ujian dulu. I'll be around if you guys need my help, ya...."


[30 tahun setelah suatu masa kanak-kanak itu.]
Siang yang hujan. Ada 4 orang sedang makan bersama di sebuah kafe ternama. Mereka Danis, Niro, Jane, dan Hans. Mereka masih orang-orang middle to upper class tapi mereka sudah tidak peduli apakah orangtua mereka ada atau tidak. Mereka sudah terlalu lelah mengurus diri sendiri sehingga tak ada lagi ruang benak tersisa untuk memikirkan orang lain. Tapi mereka berusaha nampak bahagia.
Niro bilang, "Berkat kenalan gue di kepolisian, bisnis gue lancar...." Ini tentang bisnis narkoba dan penyalur calon tenaga kerja seks komersialnya.
Jane membalas, "Berkat kerja keras gue, kebeli juga ini Birkin bag!" Ini tentang kerja kerasnya menjadi simpanan pengusaha kelas kakap, yang rapi di-cover dengan profesinya sebagai artis.
Danis pun nyeletuk, "Berkat usaha bokap yang bisa gue terusin, gue mampu menghidupi Lea dengan sangat cukup." Ini tentang anak haramnya dari si guru Matematika yang kabur entah ke mana.
Hans menatap teman-temannya lalu berkata, "Berkat rahmat Tuhan dan support kalian, gue berhasil membuka usaha gue sendiri dan berencana menikah tahun ini, guys...."


[70 tahun setelah suatu masa kanak-kanak itu.]
Pagi yang cerah. Ada 4 batu nisan yang berjajar rapi di sebuah taman makam umum. Mereka dulunya Danis, Niro, Jane, dan Hans. Mereka dulunya orang-orang middle to upper class yang berusaha bertahan dalam kerasnya hidup dengan segenap batasan-batasan yang ditetapkan lingkungan dan diri mereka sendiri. Dan mereka melewatinya, dengan atau tanpa kepuasan. Kini di sanalah terbaring jasad mereka tanpa nyawa, yang telah pergi membawa butir-butir rahasia yang tak pernah diketahui orang.

Niro :
Semasa hidupnya adalah penjahat besar, yang selalu bersujud di depan salib Tuhannya setiap malam. Ia ingin lepas dari belenggu, namun tak cukup kuatlah iman dan prinsipnya. Ia hanya bisa menatap iri pada sahabatnya, Hans yang bisa bertahan hidup di jalan lurus yang aman. Ia mati dalam keadaan tak puaskan diri.
Jane :
Semasa hidupnya adalah aktris yang laris. Laris di layar kaca, laris di ranjang para pejabat dan pengusaha besar. Ia benci akan kecantikannya yang memperuncing keabnormalan jalan hidupnya. Ia hanya bisa menatap iri pada sahabatnya, Danis. Sosok biasa saja yang bisa merasakan menjadi ibu dan menikah dengan seorang pria yang mau menerimanya apa adanya, walau tak bergelimang harta dan popularitas. Ia mati dalam keadaan tak puaskan diri.
Danis :
Semasa hidupnya adalah ibu rumah tangga yang menjalankan sebuah toko elektronik warisan orangtuanya yang makin lama bangkrut terbelit hutang. Ia merasa tidak maksimal sebagai dirinya. Ia memimpikan hidup penuh skandal (seperti yang pernah dilakukannya semasa SMA) dan liku berbahaya. Ia hanya bisa menatap iri pada sahabatnya, Jane yang hidupnya penuh gejolak, kisah tak biasa, dan aksi-aksi terlarang. Ia mati dalam keadaan tak puaskan diri.
Hans :
Semasa hidupnya adalah pengusaha bengkel mobil yang sukses dengan mempunyai 10 cabang di seluruh Jakarta. Keluarganya bahagia, dengan istri keibuan dan anak-anak cerdas yang sehat. Namun bukan itu yang diimpikan Hans. Ia selalu mengagumi tokoh macam Al Capone dan menyukai film-film yang mempunyai karakter pembunuh bayaran berdarah dingin. Diam-diam ia ingin hidup yang penuh sensasi dan menjadi orang jahat yang bebas bertindak seturut kata hati, tanpa mengingat nasihat ibunya untuk menjadi orang baik. ia hanya menatap iri pada sahabatnya, Niro yang keluar-masuk penjara dan bermain belakang dengan petinggi kepolisian. Ia mati dalam keadaan tak puaskan diri.


[Saat ini. Sekarang.]
Suatu saat yang tak teridentifikasi. Ada seorang yang menatap ke layar komputer dan membaca tulisan ini. Ia bisa saja berasal dari berbagai kalangan. Ia bisa saja tumbuh didampingi orangtua atau pun tidak. Tapi tak ada salahnya ia merenungkan, apa yang benar-benar diinginkannya dalam hidup. Tak ada salahnya ia memulai hari esoknya dengan menjadi pribadi yang merdeka karena ia hanya hidup sekali dan semuanya takkan terulang. Inilah kesempatannya. Hanya ini.
Maka ia pun tersenyum dan mengerti. Menjadi merdeka itu susah-susah gampang, tapi bukannya tak bisa diusahakan. Merdeka dalam ikatan cinta, merdeka dalam finansial, merdeka dalam merasakan sesuatu, merdeka dalam memutuskan sesuatu, merdeka dalam mengungkapkan sesuatu, atau merdeka dalam menetapkan dan mengejar cita-citanya, merdeka dari tuntutan keadaan yang kadang menyesatkan.
Biarlah ia menjadi apa yang ia inginkan. Toh semua manusia telah mendapat perannya dalam sandiwara akbar ini, kan?
Biarlah hanya prinsip pribadi dan kebijakan Tuhan yang menilai langkah-langkah hidupnya.
Agar ia tak mati dalam keadaan tak puaskan diri.


XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on April 25, 2009)