Sebuah gedung perkantoran. Jakarta.
Dirapikannya dasinya yang mengilat. Giorgio Armani. Sepintas, pemuda yang duduk di hadapannya melirik kagum. Bila ada satu orang yang bisa menggambarkan sosok macam apa yang ia inginkan dirinya bertransformasi kelak, pemuda itu akan memilih pria setengah baya berdasi Armani ini, tentu saja.
Statusnya sekarang memang hanya bawahan si bos. Tapi pemuda itu yakin, dengan usaha keras dan doa bukan mustahil ia akan meraih posisi puncak—baik dalam karier maupun dalam kehidupan—seperti bosnya ini.
Mata pemuda itu tersedot atensinya pada sebuah bingkai foto di sudut meja besar bosnya. Si bos menyadarinya, lalu dengan gestur santai yang mengagumkan ia mengambil bingkai itu. Kedua matanya yang mulai dihiasi kerut halus di sekitar, menatap bangga.
“Ini keluarga saya,” ujarnya. “Istri saya cantik, kan?” gumamnya sambil menunjukkan pada si pemuda, foto wanita rupawan bertubuh langsing dan berwajah mulus. “Anak-anak perempuan saya semua mewarisi kecantikannya. Mereka juga kompak sekali.”
Si pemuda memandang kagum pada potret keluarga itu. Kesan mendalam mengenai keharmonisan dan keseimbangan dalam sebuah keluarga sarat terlihat. Ia rela mati rasanya, untuk memiliki keluarga seperti itu kelak.
“Anak laki-laki Bapak mirip sekali dengan Bapak,” kata si pemuda kalem.
“Ya.... Tentu,” si bos menyahut santai sambil mengembalikan bingkai foto ke tempat semula. “Bahkan kami punya hobi yang sama; otomotif dan game!”
Binar mata si pemuda terbias cerah. Ia membayangkan indahnya suasana akhir pekan di keluarga si bos ini. Ayah dan anak sibuk mengutak-atik mobil dengan seru. Sementara anak-anak perempuan bersama ibunya menghabiskan waktu dengan akrab.
“Oh ya, ini berkas yang harus Bapak tanda tangani,” si pemuda akhirnya ingat tujuan awalnya memasuki kantor bosnya.
Kepala si bos mengangguk sambil menerima sebuah map besar. “Oke, saya periksa dulu, deh. Setengah jam lagi kamu ambil, bisa?”
“Bisa, Pak,” sahut si pemuda. Setelah itu ia permisi dan meninggalkan ruangan mewah itu dengan sejuta angan. Khayalannya hidup. Ia membayangkan dirinya di posisi si bos beberapa tahun kelak.
KLEK. Pintu tertutup rapat.
Dari bawah meja besar si bos muncullah seorang perempuan muda bertubuh sintal. Wajahnya yang penuh riasan pun tidak asing, karena kerap ia tampil di acara televisi maupun sinetron tidak bermutu yang menjamur itu. Perempuan itu nyaris tak berbusana.
“Ayo, cepat. Waktu kita hanya setengah jam sebelum muncul gangguan lagi,” kata si bos—yang lebih terdengar seperti perintah.
Dan si perempuan pun mulai melaksanakan tugasnya. Mulailah dia membuka lagi ikat pinggang Cartier pria itu, demi kecukupan hidupnya.
-----------------
Sebuah gedung perkantoran yang lain. Jakarta.
Dua orang wanita berusia awal empat puluh duduk berhadapan. Salah satu di antara mereka (yang berbaju putih dan berambut panjang) adalah penasihat perkawinan, sedangkan yang satu lagi (mengenakan gaun hijau muda) adalah si klien alias orang yang perkawinannya memerlukan nasihat agar bisa bertahan.
Mata perempuan bergaun hijau itu berair. “Saya patah arang. Suami saya bahkan nggak berminat ke sini dan berbicara. Dia nggak peduli lagi.”
“Pada awalnya memang harus sabar,” kata wanita berbaju putih menenangkan. “Dalam kasus ini kita nggak bisa hanya menyalahkan suami Anda. Pertama, koreksi diri terlebih dulu. Apakah Anda juga sudah total dalam membina perkawinan?”
“Ya,” sahut si gaun hijau cepat. “Saya sudah melakukan apa pun yang ia mau. Tapi tak sedikit pun ia menghargai saya. Ia lebih memilih sundal itu. Sudah tujuh tahun hal ini berlangsung. Sekarang saya seolah tak berharga di matanya.”
Dengan lembut dan percaya diri, wanita berbaju putih meremas tangan kliennya. “Mungkin masih ada celah dari usaha Anda. Celah yang diisi oleh kehadiran perempuan lain. Tapi kita bisa mengatasinya, kok. Saya di sini untuk membantu Anda. Kita akan mulai dari langkah pertama. Oke?”
“Terima kasih,” kata si gaun hijau. “Bersyukur saya mengetahui tentang Anda. Pamor Anda sebagai penasihat perkawinan tidak diragukan, dan sekarang saya percaya Anda bisa menolong saya. Menyelamatkan perkawinan, menyelamatkan anak-anak saya dari perceraian orangtua, dan menolong saya menyingkirkan kehadiran perempuan sialan itu.”
“Itu tugas saya,” gumam si baju putih, yakin. Kemudian saat selanjutnya ia bicara panjang tentang apa saja yang harus diperhatikan oleh si klien. Ia berbicara dengan sangat lihai, menuntun kliennya untuk memahami seluk-beluk perkawinan yang seakan tak pernah berujung. Setiap kata yang meluncur dari bibirnya membius semua orang untuk percaya, bahwa pasti wanita berbaju putih inilah yang dianugerahi perkawinan paling bahagia sejagat raya.
Setelah cukup, mereka pun mengatur pertemuan selanjutnya. Kemudian si gaun hijau pun melangkah keluar dari ruangan nyaman itu.
KLEK. Pintu tertutup rapat.
Ponsel wanita berbaju putih pun berbunyi. Ia menerima telepon dengan gaya diplomatis yang mengagumkan. “Halo?”
“Pagi Bu, saya Desti...” suara di seberang berkata.
“Ya, Desti?” sahut si baju putih. Desti adalah sekretaris suaminya di kantor. Sekaligus mata-matanya. “Ada apa?”
“Memberi laporan, Bu. Pagi ini ‘dia’ menemui Bapak lagi, Bu.”
“Dia?” wanita berbaju putih itu menggeram kesal. “Si artis nggak laku itu?”
“I-iya, Bu.” Desti menyahut pelan. “Sudah lebih dari setengah jam dia di dalam ruangan kantor Bapak.”
“Oke, trims atas laporannya.”
KLIK. Telepon ditutup.
Wanita berbaju putih itu menggertakkan rahang dan memejamkan mata. Diam-diam, sudah sembilan tahun perkawinannya dirundung permasalahan macam ini. Ingin sekali ia membelit leher suaminya dengan dasi Armani-nya. Hingga mampus.
-----------------
Sebuah kafe. Jakarta.
Segerombol anak muda sedang nongkrong. Gelas-gelas daur ulang berisi kopi yang harganya lumayan mahal, menemani mereka. Ada beberapa kotak rokok rendah tar juga untuk melengkapi acara rame-rame itu. Mereka semua ada enam orang jumlahnya, dan tengah menunggu tiga orang lagi teman dekat mereka yang masih dalam perjalanan.
Yang namanya acara kumpul-kumpul, tidak seru tanpa gosip. Dan kali ini, topik yang seru mereka bincangkan adalah orang-orang di kampus mereka yang bernama Ruben, Aliya, dan Hanis.
"Lu semua merasa, nggak? Si Aliya itu lama-lama nyebelin banget. Dikit-dikit pamer!"
"Ya, namanya juga OKB. Maklum aja!"
"Eh, tapi gue curiga barang dia banyak yang aspal. Mana mungkin tampang dia beli Hermes asli, sih? Bokapnya kan cuman dosen biasa?!"
"Bener juga, ya.... Atau jangan-jangan dia jadi simpenan om-om?"
"Hiiii.... Disimpen om-om, lama-lama kebobolan dan hamil. Ujung-ujungnya aborsi kayak si Hanis."
"Psst! Itu rahasia besarnya si Hanis, lho. Kata dia jangan sampai ada yang tahu!"
"Halah, semua juga udah tahu. Dia aja yang munafik, sok-sok aktif pelayanan gereja segala."
"Hahahaha! Iya, tuh! Sok suci dia. Sayang banget ya orang-orang di gereja dia nggak ada yang tahu masa lalu Hanis! Coba kalau ada yang tahu, seru tuh!"
"Nggak ada yang seseru si Ruben. Gosipnya kan dia anak haram. Tapi lu semua jangan tanya-tanya ke dia, ya!"
"Oh ya? Kok lu tahu?"
"Temen nyokap gue ada yang kenal ama nyokapnya Ruben. Bekas pelacur tuh nyokapnya. Waktu hamil ditinggal deh ama tuh laki hidung belang."
"Oh ya?"
"Iya, tapi dia malu. Jadi dia bilang bokapnya udah meninggal waktu dia masih kecil. Hihi, kasian yah! Mereka-reka cerita masa kecil sampai segitunya."
"Kasian deh Ruben! Hahahaha! Untung kita nggak ada yang kayak dia!"
"Eh eh eh! Psst! Mereka udah dateng tuh!"
Semua kepala menoleh ke arah tiga teman dekat mereka yang dari tadi dinantikan. Semua memasang senyum ceria dan heboh.
"Hei, lama banget sih nyampenya! Jamuran nih, nungguin kalian!"
Dan bergabunglah sembilan orang yang 'katanya' sahabat itu. Enam orang penggosip itu, ditambah Ruben, Aliya, dan Hanis.
-----------------
Sangat dirindukan suatu masa, di mana manusia tak lagi bertopeng.
Sangat didambakan suatu masa, di mana untaian gumam dari mulut manusia akan sama dengan apa yang ada di hatinya dan dengan apa yang ia lakukan.
Tapi mungkin semua hanya sepercik pikiran abstrak yang takkan terwujud.
Karena bagaimana pun, manusia sepertinya akan selalu bertopeng.
Kecuali, yang bersangkutan memang bertekad melucuti topengnya, atau ada yang berkekuatan mencabut topeng-topeng itu.
Bagaimana dengan Anda? Adakah topeng yang melapisi nurani Anda? Tidak ada?
Hanya dua yang tahu jawabannya.
Anda. Dan Tuhan.
XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on June 17, 2009)
Dirapikannya dasinya yang mengilat. Giorgio Armani. Sepintas, pemuda yang duduk di hadapannya melirik kagum. Bila ada satu orang yang bisa menggambarkan sosok macam apa yang ia inginkan dirinya bertransformasi kelak, pemuda itu akan memilih pria setengah baya berdasi Armani ini, tentu saja.
Statusnya sekarang memang hanya bawahan si bos. Tapi pemuda itu yakin, dengan usaha keras dan doa bukan mustahil ia akan meraih posisi puncak—baik dalam karier maupun dalam kehidupan—seperti bosnya ini.
Mata pemuda itu tersedot atensinya pada sebuah bingkai foto di sudut meja besar bosnya. Si bos menyadarinya, lalu dengan gestur santai yang mengagumkan ia mengambil bingkai itu. Kedua matanya yang mulai dihiasi kerut halus di sekitar, menatap bangga.
“Ini keluarga saya,” ujarnya. “Istri saya cantik, kan?” gumamnya sambil menunjukkan pada si pemuda, foto wanita rupawan bertubuh langsing dan berwajah mulus. “Anak-anak perempuan saya semua mewarisi kecantikannya. Mereka juga kompak sekali.”
Si pemuda memandang kagum pada potret keluarga itu. Kesan mendalam mengenai keharmonisan dan keseimbangan dalam sebuah keluarga sarat terlihat. Ia rela mati rasanya, untuk memiliki keluarga seperti itu kelak.
“Anak laki-laki Bapak mirip sekali dengan Bapak,” kata si pemuda kalem.
“Ya.... Tentu,” si bos menyahut santai sambil mengembalikan bingkai foto ke tempat semula. “Bahkan kami punya hobi yang sama; otomotif dan game!”
Binar mata si pemuda terbias cerah. Ia membayangkan indahnya suasana akhir pekan di keluarga si bos ini. Ayah dan anak sibuk mengutak-atik mobil dengan seru. Sementara anak-anak perempuan bersama ibunya menghabiskan waktu dengan akrab.
“Oh ya, ini berkas yang harus Bapak tanda tangani,” si pemuda akhirnya ingat tujuan awalnya memasuki kantor bosnya.
Kepala si bos mengangguk sambil menerima sebuah map besar. “Oke, saya periksa dulu, deh. Setengah jam lagi kamu ambil, bisa?”
“Bisa, Pak,” sahut si pemuda. Setelah itu ia permisi dan meninggalkan ruangan mewah itu dengan sejuta angan. Khayalannya hidup. Ia membayangkan dirinya di posisi si bos beberapa tahun kelak.
KLEK. Pintu tertutup rapat.
Dari bawah meja besar si bos muncullah seorang perempuan muda bertubuh sintal. Wajahnya yang penuh riasan pun tidak asing, karena kerap ia tampil di acara televisi maupun sinetron tidak bermutu yang menjamur itu. Perempuan itu nyaris tak berbusana.
“Ayo, cepat. Waktu kita hanya setengah jam sebelum muncul gangguan lagi,” kata si bos—yang lebih terdengar seperti perintah.
Dan si perempuan pun mulai melaksanakan tugasnya. Mulailah dia membuka lagi ikat pinggang Cartier pria itu, demi kecukupan hidupnya.
-----------------
Sebuah gedung perkantoran yang lain. Jakarta.
Dua orang wanita berusia awal empat puluh duduk berhadapan. Salah satu di antara mereka (yang berbaju putih dan berambut panjang) adalah penasihat perkawinan, sedangkan yang satu lagi (mengenakan gaun hijau muda) adalah si klien alias orang yang perkawinannya memerlukan nasihat agar bisa bertahan.
Mata perempuan bergaun hijau itu berair. “Saya patah arang. Suami saya bahkan nggak berminat ke sini dan berbicara. Dia nggak peduli lagi.”
“Pada awalnya memang harus sabar,” kata wanita berbaju putih menenangkan. “Dalam kasus ini kita nggak bisa hanya menyalahkan suami Anda. Pertama, koreksi diri terlebih dulu. Apakah Anda juga sudah total dalam membina perkawinan?”
“Ya,” sahut si gaun hijau cepat. “Saya sudah melakukan apa pun yang ia mau. Tapi tak sedikit pun ia menghargai saya. Ia lebih memilih sundal itu. Sudah tujuh tahun hal ini berlangsung. Sekarang saya seolah tak berharga di matanya.”
Dengan lembut dan percaya diri, wanita berbaju putih meremas tangan kliennya. “Mungkin masih ada celah dari usaha Anda. Celah yang diisi oleh kehadiran perempuan lain. Tapi kita bisa mengatasinya, kok. Saya di sini untuk membantu Anda. Kita akan mulai dari langkah pertama. Oke?”
“Terima kasih,” kata si gaun hijau. “Bersyukur saya mengetahui tentang Anda. Pamor Anda sebagai penasihat perkawinan tidak diragukan, dan sekarang saya percaya Anda bisa menolong saya. Menyelamatkan perkawinan, menyelamatkan anak-anak saya dari perceraian orangtua, dan menolong saya menyingkirkan kehadiran perempuan sialan itu.”
“Itu tugas saya,” gumam si baju putih, yakin. Kemudian saat selanjutnya ia bicara panjang tentang apa saja yang harus diperhatikan oleh si klien. Ia berbicara dengan sangat lihai, menuntun kliennya untuk memahami seluk-beluk perkawinan yang seakan tak pernah berujung. Setiap kata yang meluncur dari bibirnya membius semua orang untuk percaya, bahwa pasti wanita berbaju putih inilah yang dianugerahi perkawinan paling bahagia sejagat raya.
Setelah cukup, mereka pun mengatur pertemuan selanjutnya. Kemudian si gaun hijau pun melangkah keluar dari ruangan nyaman itu.
KLEK. Pintu tertutup rapat.
Ponsel wanita berbaju putih pun berbunyi. Ia menerima telepon dengan gaya diplomatis yang mengagumkan. “Halo?”
“Pagi Bu, saya Desti...” suara di seberang berkata.
“Ya, Desti?” sahut si baju putih. Desti adalah sekretaris suaminya di kantor. Sekaligus mata-matanya. “Ada apa?”
“Memberi laporan, Bu. Pagi ini ‘dia’ menemui Bapak lagi, Bu.”
“Dia?” wanita berbaju putih itu menggeram kesal. “Si artis nggak laku itu?”
“I-iya, Bu.” Desti menyahut pelan. “Sudah lebih dari setengah jam dia di dalam ruangan kantor Bapak.”
“Oke, trims atas laporannya.”
KLIK. Telepon ditutup.
Wanita berbaju putih itu menggertakkan rahang dan memejamkan mata. Diam-diam, sudah sembilan tahun perkawinannya dirundung permasalahan macam ini. Ingin sekali ia membelit leher suaminya dengan dasi Armani-nya. Hingga mampus.
-----------------
Sebuah kafe. Jakarta.
Segerombol anak muda sedang nongkrong. Gelas-gelas daur ulang berisi kopi yang harganya lumayan mahal, menemani mereka. Ada beberapa kotak rokok rendah tar juga untuk melengkapi acara rame-rame itu. Mereka semua ada enam orang jumlahnya, dan tengah menunggu tiga orang lagi teman dekat mereka yang masih dalam perjalanan.
Yang namanya acara kumpul-kumpul, tidak seru tanpa gosip. Dan kali ini, topik yang seru mereka bincangkan adalah orang-orang di kampus mereka yang bernama Ruben, Aliya, dan Hanis.
"Lu semua merasa, nggak? Si Aliya itu lama-lama nyebelin banget. Dikit-dikit pamer!"
"Ya, namanya juga OKB. Maklum aja!"
"Eh, tapi gue curiga barang dia banyak yang aspal. Mana mungkin tampang dia beli Hermes asli, sih? Bokapnya kan cuman dosen biasa?!"
"Bener juga, ya.... Atau jangan-jangan dia jadi simpenan om-om?"
"Hiiii.... Disimpen om-om, lama-lama kebobolan dan hamil. Ujung-ujungnya aborsi kayak si Hanis."
"Psst! Itu rahasia besarnya si Hanis, lho. Kata dia jangan sampai ada yang tahu!"
"Halah, semua juga udah tahu. Dia aja yang munafik, sok-sok aktif pelayanan gereja segala."
"Hahahaha! Iya, tuh! Sok suci dia. Sayang banget ya orang-orang di gereja dia nggak ada yang tahu masa lalu Hanis! Coba kalau ada yang tahu, seru tuh!"
"Nggak ada yang seseru si Ruben. Gosipnya kan dia anak haram. Tapi lu semua jangan tanya-tanya ke dia, ya!"
"Oh ya? Kok lu tahu?"
"Temen nyokap gue ada yang kenal ama nyokapnya Ruben. Bekas pelacur tuh nyokapnya. Waktu hamil ditinggal deh ama tuh laki hidung belang."
"Oh ya?"
"Iya, tapi dia malu. Jadi dia bilang bokapnya udah meninggal waktu dia masih kecil. Hihi, kasian yah! Mereka-reka cerita masa kecil sampai segitunya."
"Kasian deh Ruben! Hahahaha! Untung kita nggak ada yang kayak dia!"
"Eh eh eh! Psst! Mereka udah dateng tuh!"
Semua kepala menoleh ke arah tiga teman dekat mereka yang dari tadi dinantikan. Semua memasang senyum ceria dan heboh.
"Hei, lama banget sih nyampenya! Jamuran nih, nungguin kalian!"
Dan bergabunglah sembilan orang yang 'katanya' sahabat itu. Enam orang penggosip itu, ditambah Ruben, Aliya, dan Hanis.
-----------------
Sangat dirindukan suatu masa, di mana manusia tak lagi bertopeng.
Sangat didambakan suatu masa, di mana untaian gumam dari mulut manusia akan sama dengan apa yang ada di hatinya dan dengan apa yang ia lakukan.
Tapi mungkin semua hanya sepercik pikiran abstrak yang takkan terwujud.
Karena bagaimana pun, manusia sepertinya akan selalu bertopeng.
Kecuali, yang bersangkutan memang bertekad melucuti topengnya, atau ada yang berkekuatan mencabut topeng-topeng itu.
Bagaimana dengan Anda? Adakah topeng yang melapisi nurani Anda? Tidak ada?
Hanya dua yang tahu jawabannya.
Anda. Dan Tuhan.
XOXO,
F.C.
(published on Felice Cahyadi's Facebook on June 17, 2009)